GEROBAK
RINA RINI
Tanggal : 13 April 2013
Waktu : 16.40-17.00
Tempat : Bintaro, Jakarta Selatan
Catatan
Deskriptif
Terlihat
sebuah gerobak yang sedang ditarik oleh seorang laki-laki memakai kemeja
berwarna abu-abu kusam di sepanjang jalan Bintaro Sektor 7, Jakarta Selatan.
Hari itu, Sabtu sore dimana suasana di jalan raya tersebut ramai, banyak
mobil-mobil mewah melintas, motor-motor yang tidak kalah banyaknya pun ikut
melintas. Tetapi laki-laki itu tetap menarik gerobak yang besarnya ± ½ m x 1 m
yang terdapat dua orang anak perempuan kembar yang sedang duduk di dalamnya.
Anak perempuan kembar itu memakai baju yang bercorak sama dan terlihat kusam
serta kotor. Rambutnya sebahu, berat badannya kira-kira 40kg hampir ideal
dengan tinggi badannya.
Di
sepanjang jalan tersebut terdapat banyak toko-toko, rumah makan, dan tempat
perbelanjaan. Dipinggir jalan, laki-laki itu menarik gerobaknya sambil melihat
ke kanan ke kiri untuk menemukan barang-barang bekas. Seperti kardus,
botol-botol bekas dan plastik-plastik yang sudah tidak terpakai. Sekitar 3-4 km
bapak itu menarik gerobaknya untuk mencari barang bekas, anak kembarnya hanya
duduk saja didalam gerobak.
Catatan Reflektif
Si
Bapak yang terbilang sudah berumur lanjut dan terlihat sangat lelah terus mencari
barang-barang bekas dan anak kembarnya yang hanya menemani bapaknya di tengah
hiruk pikuknya jakarta padahal disitu merupakan kawasan daerah elit.
SEMBILAN ANAK KEBAHAGIAANKU
Tanggal : 14 April 2013
Waktu :
16.45-18.00
Tempat : Bintaro Sektor 7, Jakarta Selatan
Catatan
Deskriptif
Warta,
kelahiran tahun 1957 berasal dari Indramayu, tidak berpendidikan yang telah
tinggal di Jakarta setelah menikah 30 tahun yang lalu. Ke Jakarta mencari
penghidupan yang lebih baik untuk menghidupi keluarganya. Hidup di Jakarta
sebagai pemulung mencari barang-barang bekas. Untuk mencari barang-barang bekas
Pak Warta berangkat dari rumah jam 08.00 pagi dan pulang jam 08.00 malam. Tinggal
di kampung sebagai seorang Petani yang penghasilannya tidak menentu karena
hanya bekerja pada waktu-waktu tertentu, yaitu hanya pada musim tanam. Setelah menanam
tidak memiliki kegiatan, kemudian bekerja kembali pada saat musim panen. Pak
Warta memiliki sembilan orang anak yang semuanya dilahirkan di Indramayu.
Memilih melahirkan di dukun karena biaya yang dikeluarkan terbilang lebih murah
dibandingkan di Jakarta tepatnya di rumah sakit, begitu katanya.
Anak
yang pertama bernama Arnensi berumur ± 31 tahun yang sekarang tinggal di
Indramayu dan sudah berkeluarga. Arnensi sudah memiliki tiga anak yang juga
tinggal bersamanya.
Lalu
anak kedua, Darto yang berumur 30 tahun. Darto belum menikah tetapi akan
menikah sehabis Hari Raya Idul Fitri nanti. Darto ini sudah dilangkahi oleh tiga
adiknya untuk menikah.
Anak
ketiga, Penci Andriani. Yang berumur 29 tahun juga sudah menikah dan juga
tinggal di kampung, di Indramayu.
Anak
keempat, Yesi Topiawati. Dengan logat medok
Pak Warta menceritakan kalau anak keempatnya ini juga sudah menikah dan sudah
memiliki satu anak. Yesi juga tinggal di Indramayu.
Titin
Supriatin, anak kelima Pak Warta. Begitu pun juga sudah menikah dan memiliki
satu anak dan juga tinggal di Indramayu.
Anak
keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan tinggal bersama Pak Warta dan
istrinya, Bu Sani. Dwi Anggraini yang berumur 17 tahun hanya bersekolah sampai
kelas 3 SD. Karena tidak memiliki biaya yang cukup maka Dwi tidak bisa
melanjutkan sekolahnya. Sekolah sampai kelas 3 SD sudah bisa membuatnya untuk
membaca, menulis dan berhitung meski dalam keterbatasan. Selanjutnya, si kembar
Rina dan Rini. Si Kembar yang berumur 12 tahun adalah anak ketujuh dan
kedelapan Pak Warta dan Bu Sani. Bertinggi badan ± 160 cm dan berat badan 40 kg
dengan rambut sebahu dan kulit yang terbilang gelap. Si Kembar Rina Rini ini
juga sudah tidak bersekolah. Putus sekolah pada kelas 4 SD yang beralasan
karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Pak Warta mengatakan bahwa meski biaya sekolah sudah gratis tapi pada saat
masuk sudah mengeluarkan biaya sebesar satu juta rupiah, kemudian pembiayaan
untuk buku-buku sekolah dan keperluan sekolah lainnya. Beda dengan Dwi, Rina
dan Rini dalam hal membaca tidak begitu lancar entah kenapa Pak Warta sendiri
tidak mengetahuinya.
Lalu
anak terakhir, Della Safitri berumur enam tahun. Della memiliki badan yang
kurus, karna dia jarang makan, sehingga della menjadi gampang terserang
penyakit. Sama seperti kakak-kakaknya Della pun tidak sekolah karna Pak Warta
dan Bu Sani tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan Della.
Dari anak pertama sampai anak kelima
hanya beda satu tahun tetapi jarak dari anak kelima ke anak keenam terlampau
jauh perbedaannya. Pak Warta menuturkan bahwasanya Bu Sani sudah mengikuti
program KB tetapi namanya rezeki dari Allah tidak dapat ditolak, katanya.
Ada hal yang selalu Pak Warta ingat
tiap harinya “susah senang bersama keluarga, tidak ada itu yang namanya lelah
karena semua demi anak”. Hal itu menjadi acuan untuk Pak Warta menjalani
kehidupan.
Catatan Reflektif
Sosok Pak Warta yang memang sangat
gigih untuk mencari barang-barang bekas demi menghidupi keluarga dan mencari
sesuap nasi karena tinggal di Jakarta. Wajah yang terlihat peluh keringat yang
menetes di pipinya, topi yang dipakai untuk sesekali mengipas-ngipas
keringatnya.
RUMAHKU
Tanggal : 16 April 2013
Waktu : 17.00 – 18.00
Tempat : Pasar Jengkol
Catatan
Deskriptif
Lokasi
pemukiman ini berada di daerah Pasar Jengkol Pondok Aren, Jakarta Selatan.
Pemukiman pengepul ini dibatasi oleh seng-seng yang sudah berkarat, terlihat
dari pagar depan yang terbuat dari seng. Pemukiman pengepul ini terletak sangat
dekat dengan empang yang sebagian besar merupakan genangan air yang berwarna
hitam yang berisi banyak sampah dan tanaman air yaitu eceng gondok. Tempat
tinggal para pengepul ini berada sangat dekat dengan empang tersebut.
Pak
Warta, menempati salah satu kontrakan yang yang ada di pemukiman pengepul
tersebut. Kontrakan itu berukuran 3m x 4m. Berdinding teriplek dan kayu bekas,
beralaskan tanah yang dilapisi dengan banner bekas serta atapnya yang terbuat
dari genteng seadanya yang dilapisi plastik-plastik bekas yang berfungsi untuk
menadah air ketika hujan turun. Di dalam kontrakan dibagi menjadi dua bagian
yang disekat dengan teriplek bekas. Ruangan pertama yang disekat ukurannya
lebih besar karena di ruangan inilah keluarga Pak Warta melakukan sebagian
aktivitasnya. Seperti istirahat, menonton tv, masak dan tidur. Terdapat kasur
yang sudah kusam dan tumpukan pakaian, televisi berukuran 14 inchi, kompor gas,
dan lemari makanan yang terbuat dari kayu yang mulai rapuh. Sebagian besar
barang-barang yang ada di kontrakan tersebut didapat dari mengkredit barang
yang mereka cicil dengan harga dua ribu rupiah perhari. Ada juga barang-barang
hasil pemberian keluarga-keluarga mampu yang tinggal di komplek perumahan Bintaro.
Terdapat pula makanan seperti beras, mie instan, kopi, gula, teh yang diberikan
oleh mahasiswa yang kampusnya terletak tidak jauh dari pemukiman mereka.
Ruangan kedua yang berukuran lebih kecil, digunakan sebagai tempat untuk
menaruh barang-barang bekas hasil memulung.
Catatan Reflektif
Rumah
yang jauh dari rasa nyaman untuk ditinggali menjadi tempat kebahagiaan mereka.
Dengan barang-barang yang seadanya dan sebagian barang-barangnya yang sudah
tidak layak pakai mereka tetap gunakan. Berkumpul bersama keluarga menjadi hal
yang indah untuk keluarga ini. Keakraban serta harmonis juga ada didalamnya
TERNYATA ADA BOS PENGEPUL
Tanggal : 16 April 2013
Waktu : 18.10 – 19.00
Tempat : Pasar Jengkol
Catatan
Deskriptif
Selati
(40 tahun) berasal dari Madura, lalu merantau ke Jakarta mendirikan usaha
komunitas pengepul karena kakak-kakak Bu Selati yang terlebih dahulu sudah
sukses menjalankan usaha tersebut. Ibu bos, begitu panggilannya, juga tinggal
bersama keluarganya di pemukiman ini. Ibu Selati memiliki empat orang anak dan
juga adik-adiknya yang tinggal bersama di pemukiman ini. Terdapat 40 kepala
penghuni yang tinggal di pemukiman ini. Empat puluh penghuni tersebut terdiri
dari orang-orang yang sudah berkeluarga dan masih membujang. Sebagian penghuni
kawasan pengepul itu berasal dari daerah Indramayu dan Madura. Memiliki empat
orang anak, anak keempatnya berumur enam tahun.
Di
pemukiman ini terdapat beberapa kontrakan yang sebagian besar hanya berukuran
3m x 4m. Terdapat salah satu rumah yang ukurannya lebih besar, rumah besar
itulah yang ditinggali oleh Ibu bos dan keluarganya. Di setiap kontrakan tidak
terdapat kamar mandi, di pinggir empang ada mck umum yang didirikan dari
bantuan orang-orang sekitar. Dahulu, sebelum ada kamar mandi umum, para
penghuni mandi, mencuci baju dan mencuci piring semuanya dilakukan di empang
yang letaknya sangat dekat dengan pemukiman tersebut. Air yang berwarna hitam
pekat dan tercampur oleh sampah, jadi setelah mandi di empang biasanya
masyarakatnya langsung mengalami gatal-gatal pada kulitnya.
Sekitar
± 20 tahun Selati mendirikan komunitas pengepul. Lima tahun di daerah Ceger,
sepuluh tahun di daerah Sarmili. Dan sekarang di daerah Pasar Jengkol Jakarta
Selatan sudah hampir lima tahun mendirikan tempat pengepul ini. Sudah sekitar
tiga kali ibu Selati berpindah-pindah untuk mencari tempat yang bisa digunakan
sebagai tempat usahanya atau mendirikan tempat pengepul. Biasanya Ibu Selati
menyewa tanah kosong milik warga, lalu Ibu Selati bersama orang-orang yang
mengikutinya sejak lama seperti Pak Warta bekerja sama mendirikan
kontrakan-kontrakan untuk mereka tinggali. Para keluarga yang mengontrak atau
ikut dengan Ibu Selati merasa sangat nyaman, dikarenakan para keluarga yang
mengontrak tidak di bebankan biaya untuk menyewa kontakan dan membayar listrik,
setiap setengah bulan sekali para keluarga tersebut juga di beri uang makan
sebasar dua ratus ribu rupiah dan dibayarnya dengan barang-barang bekas.
Barang-barang bekas yang dikumpulkan oleh para pengepul saperti Pak Warta
biasanya di timbang lalu dibayar oleh ibu bos setiap setengah bulan sekali.
Catatan Reflektif
Ibu Selati bersikap ramah terhadap
orang-orang yang bekerja dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar